Soder
Soder, tidak saja bernilai praktis, akan tetapi juga mempunyai nilai simbolis. Dalam tayuban (di Jawa Timur) misalnya, selendang diartikan sebagai sampurnakno uripmu (sempurnakan hidupmu). Kesempurnaan hidup itu dilambangkan dengan sampur. Orang menari tayub itu sebenarnya mencari kebaikan dan kesempurnaan hidup di dunia untuk bekal di akhirat. Soder yang melintang di pinggang penari adalah simbol dari segudang perasaan hati manusia tentang kerinduan, kesunyian, kecintaan, kebencian, dan lain-lain. Kalaupun ia dibuang dan ditendang; dilempar dan dibanting; ia akan kembali lagi ke tempat asalnya, ia tak lepas dan tetap menempel. Demikian perasaan hati kita ketika muncul keinginan-keinginan untuk membuang nafsu keduniawian. Perasaan itu hanya terbuang sementara untuk selanjutnya tetap menempel dalam hati kita. Perasaan dan keinginan itu tidak hilang. Usaha untuk membuang berbagai keinginan yang kurang baik dan berbagai perasaan jelek itu adalah hanyalah upaya manusia untuk terhindar dari hal-hal yang tak diharapkan.
Alegori tentang selendang dan pinggang menarik untuk disimak.
Pinggang dan selendang seperti tak ingin berpisah. Ia seolah-olah tengah berdialog. Pinggang (P) bertanya kepada Selendang (S):
P : Mengapa kaumelintang?
S : Karena aku di pinggang
P : Mengapa kau tak riang?
S : Karena kudikekang
P : Mengapa kaudipegang?
S : Karena kumengambang
P : Mengapa kauterbang?
S : Karena kuditendang
P : Mengapa kaumelayang?
S : Karena Yang Maha Wenang
Ketika tari selesai, ’pinggang’ melepaskan selendangnya. Ia dilipat, kemudian disimpan di lemari. Selendang tak berdaya. Ketika mereka lama tak berjumpa, mereka kangen juga. Akhirnya, pinggang menghampiri selendang yang tersimpan di lemari. Terjadi lagi dialog.
P : Mengapa kau di lemari?
S : Karena kau tak menari
P : Mengapa kau murung?
S : Karena kuterkungkung
P : Mengapa kau mati?
S : Karena Yang Maha Widi
Oleh karena itu pula, mengapa ketika selendang dilipat dan disimpan di lemari, memori penari atasnya tetap saja tak pupus. Selendang di lemari menyimpan memori penari, yakni memori manusia yang tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari perasaan keilahian dan keduniawian. Upaya menghindarkannya yang divisualisasikan dengan bermacam-macam gerakan soder (seblak, sepak, kepret, tajong, dsb.) adalah simbol tentang upaya kita untuk menjaga diri agar senantiasa berada pada keadaan bersih hati dan dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Dari dialog pinggang dan selendang, kita juga diingatkan oleh sebait syairnya Rumi yang berjudul Kidung Seruling Buluh: ”Aduhai dengar seruling buluh, betapa ia mengaduh/dan betapa ia bertutur tentang pedihnya berpisah. Rumi seolah-olah ingin mengatakan bahwa: Seruling, yang diambil dari pohon buluh, menjerit-jerit karena kesepian dan mengungkapkan kerinduannya untuk pulang. Demikian pula selendang, betapa rindunya ia kepada penari manakala ia tidak disapa, tak dikenakannya di pinggang, dan tak ditarikan.